Ia menuturkan, khidmat yang dia berikan kepada gurunya sungguh luar biasa. Gurunya Imam Abu Zaid ad-Dabbusi benar-benar dilayaninya bak seorang budak kepada majikan. Ia pernah memasakkan makanan untuk gurunya selama 30 tahun tanpa sedikit pun mencicipi makanan yang disajikannya.
Begitulah cara orang-orang terdahulu mendapatkan keberkahan ilmu dari memuliakan gurunya. Mencintai ilmu berarti mencintai orang yang menjadi sumber ilmu. Menghormati ilmu berarti harus menghormati pula orang yang memberi ilmu. Itulah guru. Tanpa pengajaran guru, ilmu tak akan pernah bisa didapatkan oleh si murid.
Dalam literatur pendidikan Islam, jelas terpampang bahwa pelajaran pertama yang diterima seorang murid adalah bab Adabu Mu’allim wa Muta’allim (adab antara guru dan murid). Dari kitab manapun, mestilah pembelajaran dimulai dari bab ini. Si murid perlu dipahamkan, dari siapa ia menerima ilmu karena dalam pembelajaran ilmu-ilmu Islam sangat memperhatikan sanad (validitas).
Berbeda dengan sesuatu yang bersifat nasihat. Nasihat tak perlu memandang dari mulut siapa keluarnya nasihat itu. Berlakulah di sana pepatah Arab, unzur ma qala wala tanzur man qala (lihatlah kepada apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakannya). Namun, bagi ilmu-ilmu Islam sejenis tafsir, hadis, akidah, dan cabang ilmu sejenisnya, perlu diperhatikan dari siapa si murid menerimanya. Inilah yang dipesankan Muhammad bin Sirin, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu.”
Fakhruddin al-Arsabandi benar-benar memperhatikan sang guru sebagai tempat ia mengambil ilmu. Ia tak ubahnya seperti budak di hadapan gurunya. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib RA yang pernah mengatakan, “Siapa yang pernah mengajarkan aku satu huruf saja, maka aku siap menjadi budaknya.”
Ali RA mencontohkan, sekecil apa pun ilmu yang didapat dari seorang guru tak boleh diremehkan. Imam Syafi’i pernah membuat rekannya terkagum-kagum karena tiba-tiba saja ia mencium tangan dan memeluk seorang lelaki tua. Para sahabatnya bertanya-tanya, “Mengapa seorang imam besar mau mencium tangan seorang laki-laki tua? Padahal masih banyak ulama yang lebih pantas dicium tangannya daripada dia?”
Imam Syafi’i menjawab, “Dulu aku pernah bertanya padanya, bagaimana mengetahui seekor anjing telah mencapai usia baligh? Orang tua itu menjawab, “Jika kamu melihat anjing itu kencing dengan mengangkat sebelah kakinya, maka ia telah baligh.”
Hanya ilmu itu yang didapat Imam Syafi’i dari orang tua itu. Namun, sang Imam tak pernah lupa akan secuil ilmu yang ia dapatkan. Baginya, orang tua itu adalah guru yang patut dihormati. Sikap sedemikian pulalah yang menjadi salah satu faktor yang menghantarkan seorang Syafi’i menjadi imam besar.
Lantas seperti apakah penghormatan para pelajar saat ini kepada guru mereka? Petuah ilmu yang diberikan guru hanya bak angin lalu. Guru tak perlu didengarkan atau dituruti. Take it, or leave it. Tak masalah jika tak menuruti arahan dari guru. Ibarat kata pepatah, “Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.”
Mengapa para guru dipandang sedemikian rendah oleh anak bangsa saat ini? Mungkin, mereka tidak merasakan kebermanfaatan ilmu yang mereka pelajari. Atau, model pembelajaran yang tidak dimulai dari bab Adabu Mu’allim wa Muta’allim. Atau kesalahan juga terdapat pada guru yang punya orientasi materi. Ilmu hanya sebatas seremonial dan dihargai dengan uang. Semua bercampur aduk kemudian melahirkan sebuah model pendidikan yang rusak.
Guru pada umumnya tidak meminta untuk dihormati oleh si murid. Namun, orang yang sadar bahwa dirinya seorang muridlah yang harusnya tahu diri untuk menghormati gurunya. Si murid harus memahami, tak ada kesuksesan yang ia raih tanpa ada peran seorang guru. Ia tak akan mampu melakukan apa pun, jika gurunya tak mengajarinya membaca. Ia pasti akan jauh dengan agama, jika gurunya tak mengenalkannya dengan aksara Alquran.