
Dalam khazanah fikih klasik, terdapat sebuah penjelasan bahwa segala sesuatu yang terlepas dari hewan yang tidak halal dimakan, maka statusnya seperti bangkai—alias najis.
Sebaliknya, jika yang rontok itu berasal dari hewan yang halal dimakan seperti sapi, kambing, ayam, dan sejenisnya, maka hukumnya suci, tidak najis. Kaidah ini berpijak pada sabda Nabi ﷺ:
مَا قُطِعَ مِنْ حَيٍّ فَهُوَ مَيِّتٌ
“Apa saja yang terpisah dari hewan saat ia masih hidup, maka hukumnya seperti bangkai.”
(HR. al-Hakim)
Nah, di sinilah mulai muncul pertanyaan yang sering bikin kening berkerut:
Lalu bagaimana dengan bulu kucing? Bukankah kucing termasuk hewan yang tidak halal dimakan? Apakah bulunya otomatis najis?
Baca juga: Hukum Menjilat Jari untuk Membuka Lembar Al-Quran
Syaikh Ibrahim al-Baijuri dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri menjelaskan:
وما قطع من حيوان حي فهو ميت إلا الشعر أي المقطوع من حيوان مأكول (قوله: أي المقطوع من حيوان مأكول) خرج بالمأكول غيره كالحمار والهرة فشعره نجس لكن يعفى عن قليله بل وعن كثيره في حق من ابتلى به كالقصاصين.
“Segala sesuatu yang terpotong dari hewan yang masih hidup, maka hukumnya adalah bangkai (najis), kecuali rambut (bulu), yakni rambut yang terpotong dari hewan yang halal dimakan.”
Maksudnya, adapun maksud dari hewan yang halal dimakan adalah untuk mengecualikan selainnya, seperti keledai dan kucing. Maka bulu keduanya dihukumi najis. Namun najis ini dimaafkan bila jumlahnya sedikit, bahkan dimaafkan juga dalam jumlah banyak bagi orang yang memang sulit menghindarinya, seperti tukang cukur.” [Syaikh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, (Surabaya: al-Haramain), I/91].
Baca juga: Darah Bisul dan Jerawat, Najiskah?
Oleh karena itu, dengan berpijak pada penjelasan di atas dapat kita simpulkan:
Jika rontokan bulu itu sedikit, maka najis tapi di-ma’fu (termaafkan)
Jika rontokan bulu itu banyak, maka najisnya tidak di-ma’fu. Kecuali bagi orang yang selalu bersinggungan dengan bulu hewan.
Baca juga: Menabur Bunga dan Menanam Tumbuhan di atas Kuburan, Bolehkah?
Adapun patokan untuk menentukan sedikit atau banyaknya bulu kucing yang rontok maka kita kembalikan kepada ‘urf, yakni penilaian yang berlaku di tengah masyarakat.
Jika menurut kebiasaan umum bulu yang rontok masih tergolong sedikit. Seperti hanya dua atau tiga helai, maka kenajisannya termasuk najis yang dimaafkan (ma‘fu).
Namun, apabila menurut pandangan masyarakat jumlahnya sudah dianggap banyak, maka najisnya tidak lagi termasuk yang dimaafkan, kecuali bagi orang-orang yang memang sulit menghindarinya karena kondisi atau profesinya.
Belum Ada Artikel