Al-Qur’an dan Hadits sebagai Sumber Sastra Perdamaian


Kehadiran Kiai Haji Mustofa Bisribak magnet, memiliki daya tarikyang tak bisa ditolak. Sekitar 500 pasang mata memenuhi auditorium gedungrektorat lantai 5 Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang,Rabu malam 7 November 2018. Bahkan sebagian rela berdiri karena tak kebagiankursi. Kiai yang akrab disapa Gus Mus menjadi pembicara tunggal di SeminarNasional bertajuk “Estetika Bahasa dan Sastra Wujudkan Perdamaian Nusantara.”

Rektor UIN Maliki Malang, Abdul Haris saat membuka seminar menyampaikan kegundahannya lantaran setiap hari direproduksi kebencian. Namun, kebecian tak dibalas kebencian serupa. Sastra bisa digunakan membalas kekerasan dan kebencian yang dipertontonkan saban hari.  “Saya termasuk orang yang suka membalas kekerasan dengan humor,” katanya.

Sementara Dekan Fakultas Humaniora UIN Maliki Malang, Syafiyah, menjelaskan seminar merupakan rangkaian Festival Jazirah Arab. Festival diselenggarakan saban tahun oleh jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Tema ini, ujarnya, relevan pada situasi yang saat ini sudah suam-suam kuku yang setiap saat bisa memanas dan mendidih.

“Kita bisa memanfaatkan kekuatan bahasa. Kekuatan sastra. Untuk mendinginkannya,” ujar Syafiyah dalam sambutannya.

Menggali Khazanah Sastra Arab dan Islam

Gus Mus mengawali dengan menyitir nama Amin al-Khuli. Seorang pemikir yang menyodorkan kemungkinan tafsir Al Qur’an dengan pendekatan sastra. Tanpa mereduksi sakralitas Al Qur’an sebagai teks suci, Amin al-Khuli menempatkan lebih dulu Al Qu’an sebagai teks sastra Arab yang paling agung (kitâb al-arabiyyah al-akbar).

Buku terjemahan berjudul, Metode Tafsir Sastra, Amin al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd menegaskan pendekatan sastra justru menghindari penafsiran monolitik atas Al Qur’an. Terdapat semesta makna dalam Al Qur’an akan dapat dihadirkan dengan mendekati metafora, gramatika, gaya bahasa, dan aspek sastra lainnya yang ada dalam Al Qur’an.  Kehadiran Islam dengan kitab suci A Qur’an telah berpengaruh dan mengubah sastra Arab di kemudian hari.

Kehadiran Islam bertepatan dengan puncak sastra masyarakat Arab. Periode pra-Islam ini dalam pembabakan sastra Arab disebut dengan periode Jahiliyah. Penyair kala itu termasuk kelas masyarakat nomor wahid. Sampai-sampai, menurut Gus Mus, jika di kabilah itu muncul bibit penyair atau penyair muda, maka kabilah-kabilah lain akan berdatangan. Mereka meberikan selamat, memberi hadiah, dan mengadakan pesta.

Philip K. Hitti, dalam History of Arabs (2018: 114-117), mengakui keunggulan artistik masyarakat Arab jahiliyah dalam bidang puisi. Misalnya, dari sudut kerumitan dan detil sajaknya, ia mengunggulkan qashidah (puisi liris) tenimbang Illiad dan Odyssey karya Homer yang masyhur itu. Saking dihormatinya penyair kala itu, mereka mempunyai beragam peran sosial di masyarakat. Ketika perang, suaranya adalah penyulut keberanian. Dihadapan penguasa, syairnya merupakan ancaman. Kala dua suku bertikai, penyair bisa jadi juru damai yang ampuh.

Dalam ceramahnya, Gus Mus mencontohkan pangeran penyair ketika itu, Imru’ al-Qays. Betapa ia ditakuti dan dihormati. Padahal, perangai Imru’ al-Qays ini menjengkelkan. Ia suka menggoda perempuan. Penulis dan pegiat literasi, Yona Primadesi, dalam Umrul Qais dan Kekhasan Karya-karyanya, menyebut pangeran penyair ini jago bersyair ghazal, merayu wanita. Bahasanya halus. Penuh kiasan dan perumpamaan.

“Tidak ada yang berani karena takut disyairkan,” jelas Gus Mus. Dengan disyairkan, berarti seseorang harus siap menjadi bahan perbincangan seantero kota.

Di tengah situasi seperti itulah, Al Qur’an, kitâb al-arabiyyah al-akbar, diwahyukan kepada Nabi Muhammad di tanah Arab. Tak ada penyair-penyair Arab yang mampu menantang dan menentangnya. Gus Mus merujuk kepada kitab Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishaq. Di sana diceritakan pengakuan tidak langsung Abu Jahal dan Abu Sufyan atas keagungan Al Qur’an.

“Mereka bisa menipu orang banyak. Tapi tidak bisa menipu diri sendiri,” terang Gus Mus.

Karena waktu itu, Abu Jahal dan Abu Sufyan melarang keras orang-orang awam mendengarkan Nabi. Tapi, Mereka diam-diam mendengarkan kalam ilahi yang disampaikan Muhammad. Mereka takjub. Tapi menolak mengimani.

Bebeda dengan Umar bin Khattab, seorang jawara yang disegani. Ia tidak bisa menyangkal ketika mendengar dan membaca ayat Al Qur’an yang dilantunkan adiknya. Itu terjadi saat ia memarahi dan memukul adiknya di rumahnya karena telah mengikuti agama yang dibawa Muhammad. Hati umar tergetar karena keindahan sastrawi Al Qur’an dan terbukalah pintu hidayah baginya.

Al-Qur’an juga secara khusus menantang kesusatraan Arab yang telah mapan. Melalui surat Al-Isra ayat 88, mereka ditantang untuk membuat yang serupa dengan Al Qur’an. Dan nyatanya, mereka tidak mampu dan ingkar dengan cara mereka sendiri.

Pada zaman Nabi Muhammad, muncul orang yang mengaku Nabi. Ia bernama Musailamah bin Habib atau dikenal Musailamah al-Kaddzab, karena pembohong. Ia mencoba mengarang serupa ayat dalam al-Qur’an dan mengakuinya sebagai wahyu. Misalnya, ia mengarang serupa surat Al-fiil. Dan jadilah jalinan kalimat yang hancur, baik dari segi sastra maupun maknanya.

Berikut contohnya:

الفيلُ مَا الفيل,

وما أدْراكَ مَالفِيل,

له دنب وَبِيل وخُرطُوم طَويلٌ,

وإنَّ ذلك مِن خَلق رَبنا لقَليلٌ.

Keagungan sastrawi, keunikan dan kekuatan bahasa, serta keunggulan gaya dan susunan kalimat al-Qur’an membuat Philip K. Hitti (2018: 113) mengatakan, “Kemenangan Islam hingga batas tertentu merupakan kemenangan bahasa, lebih khusus, kemenangan sebuah kitab.”

Sastra dan Perdamaian

Di pengujung ceramah, Gus Mus menegaskan bahwa sastra menjadi hebat karena kelembutannya. Apalagi, jika ada sentuhan Ilahi di sana. Sumber sastra bisa berasal dari Al Qur’an dan Hadis. Hal ini selaras dengan pendapat Gus Dur yang memandang sastra Islam dari dua sisi. Sisi pertama, menurut Gus Dur, yakni sastra Islam yang legal formal. Selalu bersandar pada Al Qur’an dan Hadis. Sedang sisi kedua, melihat sastra Islam dari pengalaman religiusitas atau keberagamaan seorang muslim. Ada aspek psikologis, sosiologis, dan aspek lain.

Bagi Gus Mus, perdamaian dapat tercapai karena adab dan akhlak. Karena Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak. “Sedangkan akhlak Nabi tak lain adalah al-Qur’an itu sendiri.”

Menurut Gus Mus, munculnya Islamofobia, sebenarnya justru dipantik oleh perilaku umat Islam yang tidak qur’ani. Nabi itu berbudi lembut. Tidak tegaan. Kalau meniru Nabi, maka juga menirukan kelembutan dan keluhuran akhlaknya. Tidak malah hanya meniru bajunya, dan justru perangainya bisa jadi meniru Abu Jahal.

“Seni esensinya keindahan. Kalau ada orang yang ngajak kembalike Qur’an, ajaklah belajar lagi balaghoh dan badi’,” sindir Gus Mus.

HA. Muntaha Mansur  – Terakota.id