Meski Tanpa Salaman, Kita Tetap Saling Memaafkan

Oleh: Redaksi Pondokngujur.com

Waktu berjalan seperti sebuah roda, yang pada satu titik, ia akan membawa kita pada sesuatu yang berulang.  Dan kini, kita kembali dipertemukan dengan Lebaran, atau Idul Fitri—momentum rutin setahun sekali. Ia amat spesial bagi umat muslim dan dirayakan dengan suka cita.

Syariat menjalankan Puasa Ramadan turun pertama kali pada tahun ke-2 Hijriyah. Karenanya, di tahun itu pula Idul Fitri untuk pertama kali dirayakan. Ketika itu Idul Fitri teramat spesial bagi umat Islam yang masih menjadi minoritas di penjuru dunia; dan kami kira, hingga kini pun kespesialannya tetap sama sesuai situasi dan kondisi yang telah berbeda. Dulu ia bermakna kemenangan yang ganda; selain menang karena berhasil mengekang hawa nafsu selama satu bulan menjalani puasa Ramadan, umat Islam juga menang dari perang Badar yang berlangsung pada 17 Ramadan.

Itu perang yang tak dapat dinalar dari sudut manapun. Jumlah umat Islam hanya berkisar 300 orang, dan kita menyebutnya 300 sahabat Nabi Muhammad; mereka dalam kondisi fisik yang sedang berpuasa—haus dan lapar, dan tak dibekali peralatan perang yang prima. Sedangkan, pihak kafir Quraisy tampil dengan pasukan terbaiknya dengan kelengkapan peralatan perang yang siap mengoyak kaum muslim. Dalam kondisi semacam itu, Nabi tampil sebagai komando, didampingi Hamzah, Umar, Ali, Abu Bakar dan ‘Ubaidillah. Dan hasilnya, kekuatan yang tak sebanding itu mampu mengalahkan musuhnya.

Sebenarnya, permulaan perayaan Idul Fitri tidak hanya dilandasi sejarah kemenangan perang Badar. Namun, ia disyariatkan sebagai ganti atas dua hari raya kaum jahiliyah yang berasal dari zaman Persia Kuno, yakni hari raya Nairuz dan Mahrajan. Biasanya, mereka merayakan kedua hari raya itu dengan menggelar pesta pora. Lalu, seiring turunnya kewajiban puasa Ramadhan pada tahun ke-2 Hijriah, juga muncul hadis Nabi: “Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.”

Sebagai hari raya, kita kemudian ikut menyambut dan mengisinya dengan suka cita, juga pesta. Biasanya, sebagian umat Islam Indonesia akan merayakannya dengan pulang kampung (mudik), berburu pakaian baru, berkumpul bersama keluarga sambil menyantap hidangan yang enak, menyulut kembang api, dan bersilaturahmi ke kerabat, tetangga, dan teman. Mereka akan saling memaafkan dengan bersalaman dan dihiasi senyum ceria—seolah-olah dunia tampak sangat indah pada hari itu. Dan sebagian lainnya, merayakannya dengan perasaan hambar dan kondisi yang penuh keterbatasan.

Sekarang ini, di saat seluruh penjuru dunia tengah dilanda pandemi Covid-19, perayaan hari raya Idul Fitri yang biasanya diisi beragam perayaan dan pesta, tiba-tiba berlangsung dengan banyak batasan. Di Indonesia, kita tahu, mudik atau pulang kampung yang telah mentradisi kini menjadi sesuatu yang dilarang dan dicegah. Takbir keliling ditiadakan. Shalat Idul Fitri, untuk beberapa daerah atau zona, terpaksa ditiadakan. Tradisi silaturahmi dengan saling berkunjung dan bersalaman juga tidak diperkenankan.

Di luar semua keterbatasan itu, tentu saja kita tetap bisa melanjutkan tradisi yang baik, yaitu saling meminta maaf dan memaafkan. Kami rasa, hanya pada saat Idul Fitri, setiap orang tampak seperti seorang tetua bijak bestari—enteng meminta maaf dan memaafkan; bahkan, untuk kesalahan-kesalahan yang mungkin tidak pernah diperbuatnya. Sekarang teknologi makin canggih, karenanya kita dapat memilih cara bermaafan sesuka hati kita. Sak senenge.

Namun, kita juga berharap dengan segala batasan yang telah kita jalankan, situasi bakal segera membaik, dan tahun depan kita tak lagi berjumpa dengan Idul Fitri yang mendung seperti saat ini.

Sebagai penutup tulisan, izinkan saya mengutip kata-kata Gus Dur—dalam khutbahnya selaku presiden pada 7 Januari 2000—bahwa makna Idul Fitri bagi kita adalah: ”ajakan kepada kita semua untuk memperhatikan nasib kaum yang lemah, memajukan ekonomi rakyat, menegakkan demokrasi yang berarti menegakkan kedaulatan hukum, menerima perbedaan pendapat, karena ini bagian dari ajaran agama. Kalau ini sampai dilupakan berarti kita hanyalah mementingkan agama dalam arti seremonialnya saja.”

Sugeng Riyadin. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Wallahu A’lamu Bisshowaab