Lahirnya ormas Nahdlatul Ulama (NU) patutlah dimaknai sebagai salah satu keberkahan yang Tuhan turunkan di Indonesia. Ia merupakan magnum opus dari para ulama demi terciptanya kehidupan kebangsaan dan keberagamaan yang beradab.
NU bukanlah sebuah gagasan yang tiba-tiba turun dari langit. Ia merupakan hasil ijtihad para ulama yang lebih dulu melalui laku istikhoroh (meminta petunjuk pada Allah), pergumulan pemikiran dan serangkaian eksperimentasi ide serta gagasan.
Hal ini bisa dirunut mulai dari lahirnya Nahdlatul Tujjar (1918) sebagai motor gerakan ekonomi kerakyatan, kemudian Taswirul Afkar (1922) sebagai langgam gerakan keilmuan dan kebudayaan, serta Nahdlatul Wathon (1924) sebagai gerakan politik melalui pendidikan. Tibalah kemudian dibawah komando Hadratus Syekh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, pada 31 Januari 1926 jamaah yang telah lebih dulu ada disatukan dalam satu wadah kebangkitan bernama Nahdlatul Ulama. Dengan demikian, watak dan orientasi NU tidak bisa dilepaskan begitu saja dari jam’iyah sebelumnya. NU sebagai Jam’iyah Diniyah (organisasi keagaaman), sekaligus NU sebagai Jam’iyah Ijtima’iyah (organisasi emansipatoris-kemasyarakatan).
Sebagai jam’iyah diniyah, NU menjaga dan terus mendakwahkan ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) yang rahmatan lil alamin. Termasuk melestarikan tradisi yang dianggap tepat dan mengganti tradisi yang tidak tepat. Kemudian sebagai jama’ah ijtima’iyah NU tunjukkan melakukan serangkaian gerakan yang berorientasi pada pencapaian negara-bangsa yang merdeka, adil dan sejahtera. Muktamar NU 1936, para ulama telah membicarakan secara serius mengenai pendirian negara Indonesia. Bahkan, di tengah kecamuk perjuangan yang mengusahakan kemerdekaan Indonesia, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari mengumandangkan fatwa yang kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945.
Beliau berfatwa bahwa wajib hukumnya mempertahankan tanah air dari penjajah dan syahid bagi dia yang meninggal melawan tentara Sekutu. Resolusi ini memicu spirit perlawanan para pemuda dan kaum santri untuk berjuang melawan kembalinya Belanda menjadi penjajah pasca penyerahan Jepang. Pemimpin tentara NICA, Brigjen AWS Mallaby tewas akibat ledakan bom yang ditaruh dimobilnya oleh salah satu santri Tebuireng bernama Harun. Tewasnya Mallaby turut memompa semangat perjuangan yang membuahkan hasil dengan terusirnya Belanda dan Sekutu dari bumi Indonesia selama-lamanya.
Meski demikian, dalam labirin kesejarahan yang panjang, NU dalam pemaknaan organisasi struktural, mengalami pasang surut, tantangan, serta godaan. Konstalasi ekonomi-politik baik di tingkat nasional maupun internasional turut menyeret NU kedalam polemik yang acapkali mengaburkan watak dan orientasi NU sebagai jam’iyah diniyah wa ijtima’iyah. Seringkali NU malah menjebakkan diri dalam politik praktis dan perebutan kekuasaan.
Berkali-kali Gus Dur dalam tulisannya menyindir kecenderungan ini. “Karena itu, dalam pandangan penulis NU tidak selayaknya turut sibuk dengan pengisian jabatan, penempatan orang dan “soal-soal politik praktis” yang sebenarnya menjadi pekerjaan partai-partai politik,” tulis Gus Dur dalam “Dimanakah Posisi NU?” (Duta Masyarakat, 22/08/2003).
Dalam tulisan Gus Dur yang lain, “NU Dulu dan Kini” dikatakan, “NU bukanlah organisasi politik praktis yang menjanjikan apa-apa kepada para pengurusnya melainkan perkumplan perjuangan yang terkait oleh cita-cita bersama, bukan oleh kepentingan bersama. Kalau hal ini dilupakan oleh pemimpin NU sendiri, maka ia telah menyimpang dari arah yang dimilikinya ketika ia didirikan dalam tahun 1926.”
Tentu masih banyak lagi tulisan Gus Dur yang senada. Sebagai intelektual sekaligus “orang dalam”, tulisan Gus Dur berwatak ganda: kritik sekaligus otokritik.
Elektoralisme dan Polarisasi di Tubuh NU
Benar, NU pernah bermetamorfosa sebagai partai politik dan menjadi bagian dari aktifitas politik praktis. Namun, hal itu telah lama dikoreksi melalui Muktamar Situbondo yang kemudian lebih dikenal dengan manifesto “Kembali ke Khittah 26.” Manifesto ini mengandaikan adanya kesadaran untuk menegaskan kembali wajah NU yang berorientasi pada pemberdayaan rakyat.
Setelahnya, berkali-kali disampaikan bahwa NU bekerja pada wilayah politik kelas tingggi yang bernuansa kerakyatan, pemberdayaan, serta kebangsaan. Bukan bekerja pada wilayah politik kelas rendah, politik praktis yang orientasinya kekuasaan, pembagian kursi, serta jabatan. Hal ini bisa kita baca melalui risalah “ Khittah Nahdliyah” yang ditulis oleh arsitektur Khittah 1926 di Muktamar Situbondo, KH. Achmad Siddiq.
Pada perkembangannya, manifesto “Kembali ke Khittah 26” kelihatannya hanya berhenti sebagai jargon. Dalam praktiknya, NU tampak terbawa arus politik praktis. NU seolah terseret pragmatisme politik yang banal dan profan. Imbasnya, NU telah menjadi semacam kendaraan bagi seseorang yang tengah membidik kursi jabatan.
Mereka adalah politisi yang sedang memanfaatkan NU sebagai kendaraan politik dalam meraih dukungan dan suara publik. Tak mengherankan, ketika musim elektoral tiba, banyak politisi merapat kepada NU.
Pilkada serentak kali ini, misalnya Pilgub Jatim, terasa betul bagaimana tegangan politik terjadi dan melibatkan kalangan NU. Dua orang kader NU, Gus Ipul dan Khofifah berkontestasi untuk menjadi Jatim 1. Keduanya sama-sama mengantongi restu dari para Kiai. Sebagaimana ditulis oleh Halim Iskandar (Jawa Pos, 27/05/2017), kurang lebih 21 kiai sepuh NU meminta PKB untuk mencalonkan Gus Ipul. Sedangkan Khofifah didukung para kiai yang lebih dikenal dengan nama tim 9.
Polarisasi di tubuh NU dalam kaitannya dengan elektoralisme bukan hanya sekali ini saja. Melainkan, sudah berulangkali terjadi, di lain waktu dan tempat. Bahkan, di level nasional, ketika Pilpres 2004, ada empat tokoh dari NU yang maju; Hasyim Muzadi, Hamzah Haz, Jusuf Kalla, dan Salahuddin Wahid. Di satu sisi, polarisasi ini kelihatannya menarik. Karena menunjukkan mobilitas kader-kader NU di kancah politik. Akan tetapi, di sisi yang lain justru menempatkan NU pada pusaran politik praktis. Dan tentu, hal ini berlawanan dengan “Khittah 1926”.
Meski begitu, penulis tetap mengedepankan prasangka baik terhadap ijtihad politik para Kiai selama ini. Termasuk dalam konteks politik praktis. Hanya saja, penulis berharap rakyat atau umat lah yang paling merasakan manfaatnya. Bukan para elit ataupun para oligarkh yang malah memanfaatkan NU. Menyitir pertanyaan Gus Dur di banyak penutup tulisannya, “Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan?” Begitulah kira-kira yang terjadi.
Penulis: Hayyik Ali Muntaha Mansur (Santri Pesantren Tarbitayul Mutathowwiin Madiun)